PENDAHULUAN
A.
Latar
Belakang
Dalam
negara versi penjajah, yaitu negara demokrasi, agama dipisahkan dari negara.
Maka dari itu, agama hanya berperan sebagai keyakinan pribadi, tak menjadi
pengatur kehidupan publik dalam berbagai bidang kehidupan. Namun Islam tak
mengakui sekularisme dari penjajah kafir. Karenanya, agama dalam negara
Khilafah tak hanya menjadi dasar keyakinan dan amal perbuatan individu muslim,
tapi juga menjadi landasan pengaturan kehidupan bernegara dan bermasyarakat.
Mendirikan suatu
negara Islam adalah suatu cita-cita bagi setiap muslim , namun bergantung
sepenuhnya pada masyarakat-nya sendiri . Negara Islam belum bisa terbentuk
selama rakyatnya yang muslim belum sepenuhnya berpegang pada Al-Qur'an dan
As-Sunnah , sebagai dasar dari ke-iman-an dan ke-Islam-an.
Menurut Abul A’la Al Maududi, inti dari pembentukan negara islam ada
pada penerapan konstitusi yang islami pada sebuah negara, berbeda dengan Ibu
taymiyyah yang menganggap bahwa yang terpenting adalah tercapainya tujuan utama
yaitu persatuan umat Islam dalam satu wadah, Abul A’la Al Maududi lebih
memberikan perhatian khusus bagaimana dasar penerapan negara Islam itu
sebenarnya. Yaitu dengan menjalankan sebuah konstitusi yang berasaskan Islam,
konstitusi yang berasaskan Al Qur’an, Sunnah Rasulullah, a’mâlu al-khulafâu
ar-râsyidin, dan madzâhibu al-mujtahidîn, dengan berpendapat bahwa pada
dasarnya, dasar-dasar konstitusi telah ada pada agama Islam, hanya tinggal
menyusunya dalam bentuk Writen Constitution, karena ‘konstitusi Islam’ seperti
yang dikatakan Al-Maududi, selama ini hanya berbentuk Unwriten Constitution,
bila ingin menyesuaikan keadaan kekinian. Meskipun pada dasarnya, unwriten
constitution atau konstitusi tak tertulis masih diakui dan dipakai oleh
sebagian negara di dunia hingga kini, terutama oleh Kerajaan Ingris Raya.
Untuk pembahasan lebih lanjut, dalam makalah ini akan dipaparkan
bagaimana konsep dan dan bentuk negara yang
ideal dalam mewujudkan negara Islami.
B.
Rumusan
Masalah
Agar masalah pembahasan tidak terlalu luas,
maka penulis merumuskan masalah dalam makalah ini adalah sebagai berikut :
1.
Apa pengertian Konsep Dasar Negara yang Islami?
2.
Apakah di Alqur’an
dan Sunnah mewajibkan mendirikan Negara Islam ?
3.
Jelaskan Struktur
Negara, Bentuk-Bentuk Negara dan Bentuk Negara Islam!
4.
Bagaimana
sistem politik di Negara Islam?
5.
Apakah
tujuan dari Negara Islam ?
C.
Tujuan
Penulisan
Tujuan penulisan makalah ini adalah :
1.
Untuk mengetahui pengertian Konsep
Dasar Negara yang Islami.
2.
Untuk mengetahui Alqur’an dan Sunnah mewajibkan mendirikan Negara Islam.
3.
Untuk mengetahui Struktur Negara, Bentuk-Bentuk Negara dan Bentuk Negara Islam.
4.
Untuk mengetahui sistem
politik di Negara Islam.
5.
Untuk
mengetahui tujuan dari Negara Islam.
BAB II
KAJIAN
PUSTAKA
Menurut
Azyumardi Azra (2000:42), Negara adalah suatu daerah teritorial yang rakyatnya
diperintah (governed) oleh sejumlah pejabat yang berhak
menuntut dari warganegaranya untuk taat pada peraturan perundang-undangan
melalui penguasaan monopolistis dari kekuasaan yang sah.
Menurut Komaruddin
Hidayat dan Azyumardi Azra, dalam bukunya Demokrasi , Hak Asasi Manusia dan Masyarakat
Madani (2006:27), Ada dua macam pengakuan atas suatu negara,
yakni pengakuan de facto dan pengakuan de jure.
Pengakuan de facto, ialah pengakuan atas fakta adanya negara.
Pengakuan tersebut didasarkan adanya fakta bahwa suatu masyarakat politik telah
memenuhi 3 unsur utama negara (wilayah, rakyat, dan pemerintah yang berdaulat).
Sedangkan pengakuan de jure merupakan pengakuan akan sahnya
suatu negara atas dasar pertimbangan yuridis menurut hukum.
Dalam konsepsi
Islam, menurut kebanyakan ahli politik Islam modern, tidak ditemukan rumusan
yang pasti (qathi’) tentang konsep negara. Dua sumber Islam,
Al-Qur’an dan Al-Sunnah, tidak secara tersurat mendefinisikan model negara
dalam Islam. Namun demikian, keduanya memuat prinsip-prinsip dasar tata cara
hidup bermasyarakat. Ketidakadaan konsep yang pasti tentang negara telah
melahirkan beragam pemikiran tentang konsep negara dalam tradisi pemikiran
politik Islam (Komaruddin, 2006 : 24) .
BAB III
PEMBAHASAN
A.
Pengertian Konsep Dasar Negara yang Islami
Dasar negara adalah fundemen yang kokoh dan kuat
serta bersumber dari pandangan hidup atau falsafah (cerminan dari peradaban,
kebudayaan, keluhuran budi dan kepribadian yang tumbuh dalam sejarah
perkembangan Indonesia) yang diterima oleh seluruh lapisan masyarakat.
Secara literal istilah negara merupakan terjemahan dari beberapa kata
asing : state (Inggris), staat (Belanda dan Jerman)
atau etat (Prancis). Sedangkan secara terminologi, negara
diartikan sebagai organisasi tertinggi di antara satu kelompok masyarakat yang
mempunyai cita-cita untuk bersatu, hidup di dalam suatu kawasan dan mempunyai
pemerintah yang berdaulat.
Dalam
konsepsi Islam, menurut kebanyakan ahli politik Islam modern, tidak ditemukan
rumusan yang pasti (qathi’) tentang konsep negara. Dua sumber
Islam, Al-Qur’an dan Al-Sunnah, tidak secara tersurat mendefinisikan model
negara dalam Islam. Namun demikian, keduanya memuat prinsip-prinsip dasar tata
cara hidup bermasyarakat. Ketidakadaan konsep yang pasti tentang negara telah
melahirkan beragam pemikiran tentang konsep negara dalam tradisi pemikiran
politik Islam.
Selain itu, konsep islam tentang negara juga berasal dari 3 (tiga)
paradigma, yaitu:
1.
Paradigma tentang teori khilafah yang
dipraktikan sesudah Rasulullah SAW, terutama biasanya merujuk pada masa Khulafa
al Rasyidin.
2.
Paradigma yang bersumber pada
teori Imamah dalam paham Islam Syi’ah.
3.
Paradigma yang bersumber dari
teori Imamah atau pemerintahan.
Teori tentang Khilafah menurut Amien Rais, dipahami
sebagai suatu misi kaum muslimin yang harus ditegakan di muka bumi ini untuk
memakmurkan sesuai dengan petunjuk dan peraturan Allah SWT, maupun Rasul-Nya.
Adapun cara pelaksanaannya al-Qur’an tidak menunjukkan secara terperinci,
tetapi dalam bentuk global saja. Sedangkan untuk teori Imamah,
Amien lebih lanjut mengatakan bahwa kata imamah (dalam
pengertian negara/state) dalam al-Qur’an tidak tertulis. Imam
Mawardi mengatakan: "Imamah adalah suatu kedudukan yang diadakan
untuk mengganti peranan kenabian dalam urusan memelihara agama (Islam) dan
mengendalikan dunia".
B.
Kewajiban mendirikan Negara Islam di Alqur’an dan Sunnah
Masalah negara merupakan masalah ma'lum[un] min
ad-din bi ad-dharurah (perkara agama yang sudah
diyakini/diketahui kepentingannya). Karena itu, adanya negara
ini hukumnya wajib. Kewajibannya pun telah disepakati
oleh para ulama, baik Ahlussunnah, Syi'ah, Khawarij maupun
Muktazilah.
Ajaran tentang negara jelas dinyatakan dalam nash, khususnya Sunah,
dengan istilah Khilafah (HR Ahmad dari Nu'man bin Basyir),
dan pemangkunya disebut khalifah (HR Bukhari dari Abu Hurairah). Karena
itu, istilah khilafah dan khalifah adalah istilah
syariah, yang digunakan oleh nash syariah, sebagaimana shalat, zakat,
jihad dan haji, untuk menyebut negara dengan konteks
dan konotasi yang khas.
Konteks dan konotasi khilafah itu tak lain adalah
negara kaum Muslim di seluruh dunia yang
dibangun berdasarkan akidah Islam, untuk menerapkan
hukum-hukum syariah dan mengemban dakwah Islam ke seluruh dunia.
Negara kesatuan, bukan federasi maupun persemakmuran; bukan
monarki, baik absolut maupun parlementer; bukan pula republik, baik
presidensiil maupun parlementer; bukan pula demokrasi, teokrasi, autokrasi
maupun diktator. Itulah Khilafah Rasyidah 'ala Minhaj
an-Nubuwwah.
Tentang penggunaan istilah negara Islam (ad-Daulah
al-Islamiyyah), memang tidak pernah digunakan oleh Alquran dan Sunah.
Karena istilah daulah adalah istilah baru, yang diambil dari
khazanah di luar Islam. Awalnya istilah ini digunakan
oleh para filosof Yunani Kuno, seperti
Plato dan Aristoteles.
Sementara umat Islam baru berinteraksi dengan
filsafat Yunani, ketika mereka menaklukkan Mesir dan Syam pada
zaman Umar bin al-Khatthab. Namun, istilah daulah saat itu juga belum
digunakan. Baru setelah buku-buku filsafat diterjemahkan ke dalam
bahasa Arab pada zaman Khilafah Abbasiyah, mulailah istilah
tersebut dikenal oleh kaum Muslim. Kata daulah digunakan untuk menerjemahkan
kata state, yang digunakan oleh Plato maupun Aristoteles dalam buku mereka.
Namun, karena istilah daulah ini bisa misunderstanding,
maka para ulama kaum Muslim ketika menggunakannya untuk menyebut
khilafah, mereka pun menggunakan kata daulah dengan tambahan
sifat Islamiyyah di belakangnya, sehingga mulailah kata ad-Daulah al-Islamiyyah
digunakan untuk menyebut khilafah. Ini bisa dilacak pada tulisan Ibnu Qutaibah
ad-Dainuri (w. 276 H), dalam kitabnya, al-Imamah wa as-Siyasah,
yang ditulis pada pertengahan abad ke-3 Hijriyah. Boleh dikatakan, Ibn
Qutaibahlah ulama yang pertama kali menggunakan istilah tersebut sebagai
padanan dari istilah khilafah.
C.
Struktur Negara, Bentuk-Bentuk Negara dan Bentuk Negara Islam
1.
Struktur Sebuah
Negara
Imam Mawardi membagi
lembaga-lembaga kekuasaan dibawah khalifah atas:
a.
Kekuasaan (wilayat) umum
dalam lapangan umum.
b.
Kekuasaan (wilayat) umum
dalam lapangan khusus.
c.
Kekuasaan (wilayat) khusus
dalam lapangan umum.
d.
Kekuasaan (wilayat) khusus
dalam lapangan khusus.
Pembagian
Mawardi diatas harus dipahami dalam kerangka bahwa khalifah merupakan institusi
tertinggi dalam negara, meskipun tidak secara serta merta bisa bertindak
otoriter, karena kedaulatan tetap di tangan rakyat didalam bingkai nilai-nilai syariat.
Dalam sistem Islam
terdapat suatu lembaga yang mirip dengan parlemen, yang sering disebut
sebagai ahlul hall wal ‘aqd. Namun lembaga ini tidaklah sama
persis dengan parlemen. Ahlul hall wal ‘aqd hanya bertugas
untuk menetapkan atau menurunkan khalifah (termasuk juga mengontrol khalifah),
tidak lebih dari itu. Artinya, tatkala khalifah sudah terpilih dan dia sanggup
berlaku adil maka ahlul hall wal ‘aqd seolah-olah tidak
diperlukan lagi. Ahlul hall wal ‘aqdakan diperlukan lagi ketika
khalifah tidak berlaku adil atau ketika khalifah perlu diturunkan. Jadi,
institusi tertinggi adalah khalifah, namun pada suatu saat institusi tertinggi
bisa diambil alih oleh ahlul hall wal ‘aqd, yang pada dasarnya
berarti diambil alih oleh rakyat.
Adapun mengenai kekuasaan
yudikatif, agaknya hampir setiap sistem negara (termasuk sistem Islam)
menempatkannya dalam posisi independen. Hal ini adalah niscaya karena hukum
harus ditempatkan dalam posisi tertinggi, untuk menjamin keadilan bagi
semuanya.
2.
Bentuk-Bentuk Negara
Negara
memiliki bentuk yang berbeda-beda. Secara umum dalam konsep dan teori modern
negara terbagi ke dalam dua bentuk, yaitu Negara Kesatuan (Unitarianisme) dan
Negara Serikat(Federasi).
a.
Negara Kesatuan
Negara
Kesatuan adalah bentuk suatu negara yang merdeka dan berdaulat, dengan satu
pemerintah pusat yang berkuasa dan mengatur seluruh daerah. Namun dalam
pelaksanaannya, negara kesatuan ini terbagi ke dalam 2 macam sistem
pemerintahan: Sentral dan Otonomi.
b.
Negara Serikat (Federasi)
Negara
Serikat atau federasi merupakan bentuk negara gabungan yang terdiri dari
beberapa negara bagian dari sebuah Negara Serikat.
Dari
sisi pelaksana dan mekanisme pemilihannya, bentuk negara dapat digolongkan ke
dalam tiga kelompok :
1)
Monarki adalah model pemerintahan yang dikepalai
oleh raja atau ratu. Monarki memiliki dua jenis : Monarki Absolut dan Monarki
Konstitusional.
2)
Oligarki adalah pemerintahan yang dijalankan oleh
beberapa orang yang berkuasa dari golongan atau kelompok tertentu.
3)
Demokrasi adalah bentuk pemerintahan yang bersandar pada
kedaulatan rakyat atau mendasarkan kekuasaannya pada pilihan dan kehendak
rakyat melalui mekanisme pemilihan umum (pemilu) yang berlangsung jujur, bebas,
aman, dan adil.
3.
Bentuk Negara Islam
Suatu negara disebut sebagai Negara Islam jika memberlakukan hukum Islam.
Dengan kata lain, pelaksanaan hukum Islam merupakan prasyarat formal dan utama
bagi eksistensinya Negara Islam.
Rasulullah saw
bersabda: "Dahulu bani Israil dipimpin dan dipelihara urusannya oleh
para nabi. Setiap kali seorang nabi meninggal, digantikan oleh nabi yang lain.
Sesungguhnya tidak akan ada nabi sesudahku. (Tetapi) nanti akan ada para
Khulafaa dan jumlahnya akan banyak sekali". (HR Bukhari dan Muslim).
Menurut pengertian
bahasa Arab, khulafaa berarti pengganti. Berdasarkan penegasan Rasulullah bahwa
tidak ada nabi lagi sesudah beliau, maka pengganti di sini berfungsi
menggantikan kedudukan beliau sebagai Ketua Negara. Hal ini diperkuat oleh
keputusan Abu Bakar yang menyandang gelaran Khalifatur-Rasulillah (pengganti
Rasulullah sebagai Ketua Negara). Mahmud Abdul Majid al-Khalidi menjelaskan
pengertian Khalifah sebagai berikut: "Khalifah adalah kepemimpinan umum
bagi kaum muslimin secara keseluruhan di dunia untuk mendirikan/melaksanakan
undang-undang Islam dan mengembangkan dakwah Islam ke seluruh pelusuk
dunia".
Islam mengenal
bentuk negara Khilafah Islamiyyah, baik secara normatif mahupun praktikal
sebagaimana yang tercatat dalam lembaran sejarah sejak masa Nabi sampai
runtuhnya Khilafah Islamiyyah yang berpusat di Turki pada tahun 1924. Dengan demikian, tampaknya khilafah yang
di maksudkan adalah bentuk kepemimpinan dari suatu pemerintahan islam sebagai
suatu kekuatan sosiorelegi politik umat dalam mencapai dua
kepantingan hidupnya, yaitu kehidupan dunia dan akhirat.
Ada empat peran
agama yang besar andilnya dalam kehidupan bernegara sepanjang sejarah.
a.
Agama merupakan
pedoman dan petunjuk agar senantiasa berada dalam bimbingan moral, hukum, dan
etika.
b.
Agama sebagai
pemersatu.
c.
Agama sebagai
pendorong keberhasilan.
d.
Agama sebagai
legitimasi sistem politik.
Adapun yang dapat
diambil dari pemikiran – pemikiran Ibnu Khaldun adalah dalam mempraktikkan
keempat peran agama dalam bernegara tersebut diperlukan keseimbangan. Kenyataan
sejarah membuktikan adanya pasang surutnya politik Islam juga karena keempat
faktor tersebut tidak diposisikan pada rel sebenarnya. Termasuk fanatisme
doktrin agama yang berakibat pada agama hanya sekadar legitimasi politik
belaka.
D.
Sistem Politik Negara Islam
Di setiap negara pasti mempunyai sistem politik di dalamnya. Berbicara
tentang sistem politik di Negara Islam, Sistem Politik Islam merupakan sistem
politik yang khas dan diyakini merupakan sistem politik yang unggul. Hal ini
terkait dengan Islam itu sendiri. “Islam itu unggul dan tidak ada yang dapat
mengunggulinya (Al Islâmu ya’lu wa lâ yu’la ‘alaihi),” kata Nabi.
Berbicara tentang sistem politik berarti berbicara tentang proses, struktur,
dan fungsi. Proses adalah pola-pola yang mengatur hubungan antar manusia satu
sama lain. Struktur mencakup lembaga-lembaga formal dan informal seperti
majelis umat, partai politik, khalifah, dan jaringan komunikasi. Adapun fungsi
dalam sistem politik menyangkut pembuatan berbagai keputusan kebijakan yang
mengikat alokasi nilai. Keputusan kebijakan ini diarahkan pada tercapainya
kepentingan masyarakat. Proses, struktur, dan fungsi dalam sistem politik Islam
semuanya berdasarkan pada ajaran Islam yang bersumber dari wahyu. Karena itu,
sistem politik Islam, termasuk konsep kenegaraannya, menjadi sistem yang unggul
karena bersumber dari Allah Swt., Zat Yang Mahaagung. Di antara keunggulan
sistem politik Islam adalah:
a.
Istiqamah
Sistem politik Islam
memiliki karakter istiqamah; artinya bersifat langgeng, kontinu, dan lestari di
jalannya yang lurus. Dalam sistem demokrasi, misalnya, sistem politik
bergantung pada kehendak manusia. Perubahan nilai dan inkonsistensi pun
terjadi. Hal yang sama bisa berlaku untuk orang lain, tetapi tidak untuk negara
tertentu.
Berbeda dengan itu,
sistem politik Islam berdiri tegar tak lekang ditelan zaman. Ini karena sistem
politik Islam bukan lahir dari logika dan kepentingan sesaat manusia, namun
jalan lurus yang berasal dari Allah Swt. untuk kemaslahatan manusia. Dalam
konteks kenegaraan, sistem politik Islam dibangun di atas landasan yang
istiqamah, yakni:
1.
Kedaulatan ada di
tangan syariah;
2.
Kekuasaan ada di
tangan rakyat;
3.
Wajib hanya memiliki
satu kepemimpinan dunia; dan
4.
Hanya khalifah yang
berhak melegalisasi perundang-undangan dengan bersumber dari Islam berdasarkan
ijtihad.
b.
Mewujudkan
ketenteraman secara kontinu.
Di antara fungsi
sistem politik adalah mewujudkan ketenteraman. Setiap warga negara harus
terjamin ketenteramannya. Tanpa ketenteraman, kehidupan tak akan nyaman.
Ketenteraman merupakan syarat mutlak(conditio sine qua non) bagi
keberlangsungan kehidupan masyarakat.Islam sangat memperhatikan hal ini. Salah
satu ajaran penting Islam adalah mewujudkan keamanan di tengah-tengah
masyarakat. Sejarah menunjukkan bagaimana saat Islam diterapkan, warga
negaranya, baik Muslim maupun non-Muslim, hidup dalam keamanan. Hal ini
terwujud melalui pendekatan multidimensi.
c.
Menciptakan hubungan
ideologis penguasa dengan rakyat.
Hubungan penguasa
dengan rakyat dalam sistem politik Islam adalah hubungan ideologis. Kedua belah
pihak saling berakad dalam baiat untuk menerapkan syariat Islam. Penguasa
bertanggung jawab dalam penegakkannya. Sebaliknya, rakyat membantu penguasa sekuat
tenaga, taat kepadanya, selama tidak menyimpang dari Islam. Berdasarkan
hubungan ideologis inilah penguasa akan melakukan pengurusan (ri’ayah)
terhadap umatnya melalui:
(a) Penerapan sistem
Islam secara baik;
(b) Selalu
memperhatikan kemajuan masyarakat di segala bidang; dan
(c) Melindungi
rakyat dari ancaman.
Nabi saw. bersabda
(yang artinya): Sesungguhnya seorang imam (pemimpin) itu merupakan
pelindung. Dia bersama pengikutnya memerangi orang kafir dan orang zalim serta
memberi perlindungan kepada orang-orang Islam (HR al-Bukhari).
Pada sisi lain,
rakyat tidaklah tinggal diam. Di pundak mereka terdapat kewajiban terhadap
pemimpin dan negaranya sesuai dengan akad baiat. Karenanya, rakyat berperan
untuk:
1.
Melaksanakan
kebijakan penguasa yang sesuai dengan syariat demi kepentingan rakyat;
2.
menjaga kelangsungan
pemerintahan dan semua urusan secara syar’i;
3.
memberikan masukan
kepada penguasa; mengontrol dan mengoreksi penguasa.
Dengan adanya hak
sekaligus kewajiban warga negara untuk memberikan nasihat, pelurusan (tashih),
dan koreksi terhadap penguasa (muhasabah al-hukkam) akan terjamin
penerapan sistem Islam secara baik di dalam negeri.
d.
Mendorong kemajuan
terus-menerus dalam pemikiran, sains teknologi, dan kesejahteraan hidup.
Sejarah telah
membuktikan hal ini. Kemajuan sains, teknologi, dan pemikiran merupakan
keniscayaan dalam Islam karena:
1.
Islam mendorong umat
untuk terus berpikir, merenung untuk menguatkan iman dan menambah pengetahuan
tentang makhluk. Ada 43 ayat al-Quran yang memerintahkan berpikir.
2.
Melebihkan ulama
daripada orang jahil.
3.
Allah telah
menundukkan alam untuk manusia agar diambil manfaatnya. Realitas ini
mengharuskan umat untuk mengkaji alam itu. Artinya, realitas menuntut umat
untuk mengembangkan sains dan teknologi.
4.
Islam mendorong inovasi
dan penemuan. Dalam masalah jihad, misalnya, Rasulullah saw. mengembangkan
persenjataan dabâbah saat itu. Kini, berarti umat harus mengungguli sains dan
teknologi negara besar. Begitu juga ijtihad; harus terus dikembangkan. Betapa
tidak, banyak sekali perkara baru bermunculan, padahal dulu belum dibahas oleh
para ulama.
E.
Tujuan Negara Islam
Untuk memberi gambaran lebih rinci, aktifitas memelihara agama (hifdhu
d-din) yang menjadi tugas dan tujuan Negara Islam meliputi
pekerjaan-pekerjaan berikut:
a.
Menyebarkan dan
mendakwahkan Islam dengan pena, lidah dan pedang.
Dakwah merupakan pekerjaan pertama yang dilakukan para nabi sebelum
pekerjaan yang lain. Hal ini disebabkan dakwah mengambil sasaran
perbaikan tashawwur (pemahaman) terhadap syariat Allah dari
berbagai noda jahiliyah. Utamanya pemurnian tauhid dari buih syirik. Lalu
memberi bimbingan bagi masyarakat dalam melaksanakan agamanya secara praktek
(amal). Dengan demikian, dakwah mencakup perbaikan ilmu dan amal.
Hukum melakukan dakwah adalah fardhu kifayah. Yaitu suatu kewajiban yang
menjadi beban semua umat Islam yang tergolong mukallaf (terkena
beban hukum), tapi jika sudah ada salah satu pihak yang melaksanakannya sesuai
tuntunan syari’at dan tuntutan realitas, maka kewajiban itu gugur bagi yang
lain. Kepentingan dari suatu perintah yang disebut fardhu kifayah adalah wujud
pelaksanaannya, bukan siapa yang melaksanakan. Siapanya tidak
penting, yang penting terlaksana dengan standar syariat dan tuntutan realitas.
Allah
berfirman:
ولتكن منكم أمة يدعون إلى الخير ويأمرون بالمعروف
وينهون عن المنكر وأولئك هم المفلحون
Artinya: Dan
hendaklah ada satu golongan dari kamu yang melakukan dakwah kepada kebaikan
(kebenaran), memerintahkan kepada yang makruf dan melarang dari yang munkar.
Dan mereka itulah orang yang beruntung.(QS. 3/Ali Imran: 104)
Ketika penjelasan secara lisan tentang Islam tidak membuahkan hasil,
maka seorang muslim tidak menjadi bebas dari tugas menyebarkan Islam, apalagi
ia seorang amirul mukminin. Tapi ia harus beralih menggunakan alat dakwah lain
yaitu pedang.
Adalah naif jika Islam disebut sebagai agama sempurna tapi tak punya
cara untuk menyelesaikan masalah orang yang menolak dakwah secara lisan. Oleh
sebab itu, ketika mengepung dan mengancam musuh, Rasulullah saw memberi tiga
pilihan; masuk Islam, membayar jizyah (pajak) ketundukan, atau
diperangi. Jika musuh memilih masuk Islam, maka urusan langsung selesai dan
mereka menjadi satu umat yang sama. Jika memilih pajak ketundukan, maka Islam
memberi jaminan keamanan sebagai imbalan pajak yang mereka bayarkan, disamping
ijin untuk tetap melaksanakan agamanya. Jika menolak dua pilihan tersebut,
Rasulullah saw memerangi mereka dengan pedang sampai bertekuk-lutut dan putus
asa.
b.
Membasmi syubhat
(pemikiran rusak), bid’ah dan segala bentuk kebatilan
Negara Islam harus mengambil fungsi membasmi syubuhat pemikiran, bid’ah
dan segala wacana dan praktek kebatilan lain. Sebab seorang amirul mukminin
memiliki kewenangan luas untuk melakukan nahi munkar di tengah masyarakat.
Amirul mukminin paling bertanggung-jawab terhadap masalah ini karena ia
didukung setidaknya oleh dua barisan; ulama dan prajurit. Tidak ada orang lain
yang memiliki kekuatan sebesar itu.
Syubuhat pemikiran menjadi tugas ulama untuk mengoreksinya hingga tuntas
agar masyarakat tidak terkotori pikirannya dengan paham-paham sesat. Hal ini
disebabkan kemunkaran yang bersumber dari akal pikiran hanya bisa dibongkar
oleh ulama. Demikian juga dengan bid’ah dan takhayul. Yang dibutuhkan dari
penguasa (negara Islam) adalah dukungan kekuaatannya, agar ulama bisa
melaksanakan perannya tersebut dengan maksimal.
Amirul mukminin bertanggung-jawab memelihara Islam agar tetap dalam
landasan yang disepakati para pendahulu (salaf sholih). Jika ada pemikiran
rusak mencoba membelokkan, ia membantahnya dengan argumen yang kokoh dan
menjelaskan dengan versi yang benar. Dilanjutkan dengan memberi sanksi sesuai
aturan yang berlaku, agar Islam terpelihara dari rongrongan pemikiran
menyimpang dan umat Islam tejaga dari kesesatan.
c.
Menjaga keutuhan
umat dan mengawal perbatasan dari serangan musuh.
Kepala negara (Islam) bertanggung jawab mewujudkan rasa aman bagi
masyarakat agar bisa bebas melaksanakan semua aktifitas ibadah dan memakmurkan
dunia. Rasa aman bisa diraih jika gangguan internal dan eksternal negara bisa diatasi.
Oleh sebab itu, negara harus memiliki kekuatan yang tangguh. Dan merupakan
pengaturan Ilahi yang Maha Sempurna, Islam memberi solusi terhadap kebutuhan
ini dengan syari’at yang bernama ribath dan jihad fi
sabilillah. Suatu kombinasi sempurna; mendapatkan imbalan secara akhirat berupa
syurga, sekaligus menjadi alat yang logis untuk menjaga negara Islam dari
rongrongan musuh.
Ribath bersifat
pasif, seperti pekerjaan satpam yang hanya menjaga. Meski demikian, Rasulullah
saw memberi motivasi dan penghargaan yang tinggi terhadap aktifitas ini, dalam
sabdanya:
رباط يوم فى سبيل الله خير من الدنيا وما عليها
Artinya: Ribath
fi sabilillah satu hari adalah lebih baik dari dunia seisinya.
Jihad fi sabilillah artinya berperang melawan musuh Allah dan musuh umat
Islam. Jihad bisa bermakna ofensif bisa pula defensif, tergantung kebutuhan.
Rasulullah saw pernah melakukannya, baik bermakna defensif maupun ofensif.
Jika kepala negara
(Islam) dengan kekuasaan di tangannya tidak melaksanakan ribath dan jihad, ia
gagal menjalankan fungsinya. Dalam waktu yang tidak lama musuh-musuh Islam akan
berebut “menyantap hidangan” umat Islam karena tidak ada penjaganya, seperti
yang kita alami saat ini. Tapi karena kita tidak memiliki kepala negara (Islam)
yang syar’i yang berfungsi melaksanakan peran ini, maka beban kesalahan
ditanggung oleh semua umat Islam.
BAB
IV
PENUTUP
A.
KESIMPULAN
Dari pembahasan konsep dasar negara yang
islami dalam makalah ini dapat disimpulkan sebagai berikut:Dalam konsepsi
Islam, menurut kebanyakan ahli politik Islam modern, tidak ditemukan rumusan
yang pasti (qathi’)tentang konsep negara. Dua sumber Islam,
Al-Qur’an dan Al-Sunnah, tidak secara tersurat mendefinisikan model negara
dalam Islam. Meskipun demikian, Islam mengajarkan banyak nilai dan etika
bagaimana seharusnya negara itu dibangun dan dibesarkan.
Hubungan
agama dan negara di Indonesia lebih menganut pada asas keseimbangan yang
dinamis, jalan tengah antara sekularisme dan teokrasi. Keseimbangan dinamis
adalah tidak ada pemisahan agama dan politik, namun masing-masing dapat saling
mengisi dengan segala peranannya. Agama tetap memiliki daya kritis terhadap
negara dan negara punya kewajiban-kewajiban terhadap agama. Dengan kata lain,
pola hubungan agama dan negara di Indonesia menganut apa yang sering disebut
oleh banyak kalangan sebagai hubungan mutualisme-simbiotik.
Negara Islam, melihat dari
beberapa wacana yang telah berkembang, dapat disebut telah, sedang dan akan
terus ada, tergantung pada sejauh mana menilai sebuah negara itu disebut Negara
Islam, karena pada dasarnya setiap negara yang didiami oleh umat Islam adalah
negara yang memiliki dimensi moral Islam, sesekuler apapun negara tersebut dan
(lebih radikal lagi) sesekuler apapun rakyatnya. Karena Islam atau tidaknya
seseorang pun hanya sesederhana dua kalimat syahadat yang diyakini. Begitu juga
dengan negara Islam yang ideal pada dasarnya dikembalikan pada umat Islam itu
sendiri dalam mengembangkan kreatifitas peradaban mereka, namun tetap dalam
koridor keislaman.
B.
SARAN
Demikian makalah yang kami sampaikan tentang konsep dan
bentuk negara yang ideal dalam mewujudkan negara islami. Kami menyarankan kepada pembaca untuk selalu menerapkan pemerintahan yang
berkonsep dasar Islami. Dan semoga makalah ini bermanfa’at bagi pembaca.
DAFTAR
PUSTAKA
Azra, Azyumardi. 2000. Demokrasi, Hak
Asasi Manusia dan Masyarakat Madani. Jakarta: Prenada Media.
Komarudin Hidayat & Azyumardi Azra. 2006. Demokrasi
, Hak Asasi Manusia dan Masyarakat Madani. Jakarta:ICCE UIN Syarif Hidayatullah.
Harun Nasution. 1985. Islam Ditinjau dari Berbagai Aspeknya.
Jakarta: UI Press.
Raliby, Osman. 1962. Ibnu Khaldun tentang Masyarakat
Negara. Jakarta: Bulan Bintang.
Syafiie, Inu Kencana & Andi Azikin.
2007. Perbandingan Pemerintahan. Bandung: Refika Aditama.
Syafiuddin. 2007. Negara
Islam menurut Konsep Ibnu Khaldun. Yogyakarta: Gama Media.