MAKALAH KONSEP DAN BENTUK NEGARA YANG IDEAL DALAM MEWUJUDKAN NEGARA ISLAMI

Kamis, 25 Februari 2016


BAB I
PENDAHULUAN

A.           Latar Belakang
Dalam negara versi penjajah, yaitu negara demokrasi, agama dipisahkan dari negara. Maka dari itu, agama hanya berperan sebagai keyakinan pribadi, tak menjadi pengatur kehidupan publik dalam berbagai bidang kehidupan. Namun Islam tak mengakui sekularisme dari penjajah kafir. Karenanya, agama dalam negara Khilafah tak hanya menjadi dasar keyakinan dan amal perbuatan individu muslim, tapi juga menjadi landasan pengaturan kehidupan bernegara dan bermasyarakat.
Mendirikan suatu negara Islam adalah suatu cita-cita bagi setiap muslim , namun bergantung sepenuhnya pada masyarakat-nya sendiri . Negara Islam belum bisa terbentuk selama rakyatnya yang muslim belum sepenuhnya berpegang pada Al-Qur'an dan As-Sunnah , sebagai dasar dari ke-iman-an dan ke-Islam-an.
Menurut Abul A’la Al Maududi, inti dari pembentukan negara islam ada pada penerapan konstitusi yang islami pada sebuah negara, berbeda dengan Ibu taymiyyah yang menganggap bahwa yang terpenting adalah tercapainya tujuan utama yaitu persatuan umat Islam dalam satu wadah, Abul A’la Al Maududi lebih memberikan perhatian khusus bagaimana dasar penerapan negara Islam itu sebenarnya. Yaitu dengan menjalankan sebuah konstitusi yang berasaskan Islam, konstitusi yang berasaskan Al Qur’an, Sunnah Rasulullah, a’mâlu al-khulafâu ar-râsyidin, dan madzâhibu al-mujtahidîn, dengan berpendapat bahwa pada dasarnya, dasar-dasar konstitusi telah ada pada agama Islam, hanya tinggal menyusunya dalam bentuk Writen Constitution, karena ‘konstitusi Islam’ seperti yang dikatakan Al-Maududi, selama ini hanya berbentuk Unwriten Constitution, bila ingin menyesuaikan keadaan kekinian. Meskipun pada dasarnya, unwriten constitution atau konstitusi tak tertulis masih diakui dan dipakai oleh sebagian negara di dunia hingga kini, terutama oleh Kerajaan Ingris Raya.
Untuk pembahasan lebih lanjut, dalam makalah ini akan dipaparkan bagaimana konsep dan dan bentuk negara yang ideal dalam mewujudkan negara Islami.

B.            Rumusan Masalah
Agar masalah pembahasan tidak terlalu luas, maka penulis merumuskan masalah dalam makalah ini adalah sebagai berikut :
1.        Apa pengertian Konsep Dasar Negara yang Islami?
2.        Apakah di Alqur’an dan Sunnah mewajibkan mendirikan Negara Islam ?
3.        Jelaskan Struktur Negara, Bentuk-Bentuk Negara dan Bentuk Negara Islam!
4.        Bagaimana sistem politik di Negara Islam?
5.        Apakah tujuan dari Negara Islam ?

C.           Tujuan Penulisan
Tujuan penulisan makalah ini adalah :
1.        Untuk mengetahui pengertian Konsep Dasar Negara yang Islami.
2.        Untuk mengetahui Alqur’an dan Sunnah mewajibkan mendirikan Negara Islam.
3.        Untuk mengetahui Struktur Negara, Bentuk-Bentuk Negara dan Bentuk Negara Islam.
4.        Untuk mengetahui sistem politik di Negara Islam.
5.        Untuk mengetahui tujuan dari Negara Islam.








BAB II
KAJIAN PUSTAKA

Menurut Azyumardi Azra (2000:42), Negara adalah suatu daerah teritorial yang rakyatnya diperintah (governed) oleh sejumlah pejabat yang berhak menuntut dari warganegaranya untuk taat pada peraturan perundang-undangan melalui penguasaan monopolistis dari kekuasaan yang sah. 
Menurut Komaruddin Hidayat dan Azyumardi Azra, dalam bukunya Demokrasi , Hak Asasi Manusia dan Masyarakat Madani (2006:27), Ada dua macam pengakuan atas suatu negara, yakni pengakuan de facto dan pengakuan de jure. Pengakuan de facto, ialah pengakuan atas fakta adanya negara. Pengakuan tersebut didasarkan adanya fakta bahwa suatu masyarakat politik telah memenuhi 3 unsur utama negara (wilayah, rakyat, dan pemerintah yang berdaulat). Sedangkan pengakuan de jure merupakan pengakuan akan sahnya suatu negara atas dasar pertimbangan yuridis menurut hukum.
Dalam konsepsi Islam, menurut kebanyakan ahli politik Islam modern, tidak ditemukan rumusan yang pasti (qathi’) tentang konsep negara. Dua sumber Islam, Al-Qur’an dan Al-Sunnah, tidak secara tersurat mendefinisikan model negara dalam Islam. Namun demikian, keduanya memuat prinsip-prinsip dasar tata cara hidup bermasyarakat. Ketidakadaan konsep yang pasti tentang negara telah melahirkan beragam pemikiran tentang konsep negara dalam tradisi pemikiran politik Islam (Komaruddin, 2006 : 24) .







BAB III
PEMBAHASAN

A.           Pengertian Konsep Dasar Negara yang Islami
Dasar negara adalah fundemen yang kokoh dan kuat serta bersumber dari pandangan hidup atau falsafah (cerminan dari peradaban, kebudayaan, keluhuran budi dan kepribadian yang tumbuh dalam sejarah perkembangan Indonesia) yang diterima oleh seluruh lapisan masyarakat.
Secara literal istilah negara merupakan terjemahan dari beberapa kata asing : state (Inggris), staat (Belanda dan Jerman) atau etat (Prancis). Sedangkan secara terminologi, negara diartikan sebagai organisasi tertinggi di antara satu kelompok masyarakat yang mempunyai cita-cita untuk bersatu, hidup di dalam suatu kawasan dan mempunyai pemerintah yang berdaulat.
Dalam konsepsi Islam, menurut kebanyakan ahli politik Islam modern, tidak ditemukan rumusan yang pasti (qathi’) tentang konsep negara. Dua sumber Islam, Al-Qur’an dan Al-Sunnah, tidak secara tersurat mendefinisikan model negara dalam Islam. Namun demikian, keduanya memuat prinsip-prinsip dasar tata cara hidup bermasyarakat. Ketidakadaan konsep yang pasti tentang negara telah melahirkan beragam pemikiran tentang konsep negara dalam tradisi pemikiran politik Islam.
Selain itu, konsep islam tentang negara juga berasal dari 3 (tiga) paradigma, yaitu:
1.        Paradigma tentang teori khilafah yang dipraktikan sesudah Rasulullah SAW, terutama biasanya merujuk pada masa Khulafa al Rasyidin.
2.        Paradigma yang bersumber pada teori Imamah dalam paham Islam Syi’ah.
3.        Paradigma yang bersumber dari teori Imamah atau pemerintahan.
Teori tentang Khilafah menurut Amien Rais, dipahami sebagai suatu misi kaum muslimin yang harus ditegakan di muka bumi ini untuk memakmurkan sesuai dengan petunjuk dan peraturan Allah SWT, maupun Rasul-Nya. Adapun cara pelaksanaannya al-Qur’an tidak menunjukkan secara terperinci, tetapi dalam bentuk global saja. Sedangkan untuk teori Imamah, Amien lebih lanjut mengatakan bahwa kata imamah (dalam pengertian negara/state) dalam al-Qur’an tidak tertulis. Imam Mawardi mengatakan: "Imamah adalah suatu kedudukan yang diadakan untuk mengganti peranan kenabian dalam urusan memelihara agama (Islam) dan mengendalikan dunia".

B.            Kewajiban mendirikan Negara Islam di Alqur’an dan Sunnah
Masalah  negara  merupakan masalah ma'lum[un] min ad-din bi ad-dharurah (perkara  agama yang  sudah  diyakini/diketahui kepentingannya). Karena  itu, adanya  negara  ini  hukumnya wajib.  Kewajibannya  pun  telah disepakati oleh para ulama, baik Ahlussunnah,  Syi'ah,  Khawarij maupun  Muktazilah.
Ajaran tentang negara jelas dinyatakan dalam nash, khususnya Sunah, dengan istilah Khilafah (HR Ahmad dari Nu'man bin  Basyir),  dan  pemangkunya disebut khalifah (HR Bukhari dari Abu Hurairah). Karena itu, istilah khilafah  dan  khalifah  adalah istilah  syariah, yang  digunakan oleh nash syariah, sebagaimana shalat, zakat, jihad dan haji, untuk menyebut  negara  dengan  konteks  dan  konotasi  yang  khas.
Konteks dan konotasi khilafah itu tak  lain  adalah  negara  kaum Muslim  di  seluruh  dunia  yang dibangun  berdasarkan  akidah Islam,  untuk  menerapkan  hukum-hukum syariah dan mengemban dakwah Islam ke seluruh dunia.  Negara  kesatuan,  bukan federasi maupun persemakmuran; bukan monarki, baik absolut maupun parlementer; bukan pula republik, baik presidensiil maupun parlementer; bukan pula demokrasi, teokrasi, autokrasi maupun diktator. Itulah Khilafah Rasyidah  'ala  Minhaj  an-Nubuwwah.
Tentang  penggunaan  istilah negara Islam (ad-Daulah al-Islamiyyah), memang tidak pernah digunakan oleh Alquran dan Sunah.  Karena  istilah  daulah adalah istilah baru, yang diambil dari khazanah di luar Islam. Awalnya  istilah  ini  digunakan  oleh para filosof  Yunani Kuno, seperti Plato dan Aristoteles.
Sementara umat  Islam  baru  berinteraksi dengan  filsafat  Yunani,  ketika mereka menaklukkan Mesir dan Syam pada zaman Umar bin al-Khatthab. Namun, istilah daulah saat itu juga belum digunakan. Baru  setelah  buku-buku  filsafat diterjemahkan ke dalam bahasa Arab pada zaman Khilafah Abbasiyah,  mulailah  istilah  tersebut dikenal oleh kaum Muslim. Kata daulah digunakan untuk menerjemahkan kata state, yang digunakan oleh Plato maupun Aristoteles dalam buku mereka.
Namun,  karena  istilah daulah ini bisa misunderstanding, maka para ulama kaum Muslim ketika  menggunakannya  untuk menyebut khilafah, mereka pun menggunakan  kata  daulah  dengan tambahan sifat Islamiyyah di belakangnya, sehingga mulailah kata ad-Daulah al-Islamiyyah digunakan untuk menyebut khilafah. Ini bisa dilacak pada tulisan Ibnu Qutaibah ad-Dainuri (w. 276 H),  dalam  kitabnya,  al-Imamah wa as-Siyasah, yang ditulis pada pertengahan abad ke-3 Hijriyah. Boleh dikatakan, Ibn Qutaibahlah ulama yang pertama kali menggunakan istilah tersebut sebagai padanan dari istilah khilafah.

C.           Struktur Negara, Bentuk-Bentuk Negara dan Bentuk Negara Islam
1.        Struktur Sebuah Negara
Imam Mawardi membagi lembaga-lembaga kekuasaan dibawah khalifah atas:
a.          Kekuasaan (wilayat) umum dalam lapangan umum.
b.          Kekuasaan (wilayat) umum dalam lapangan khusus.
c.          Kekuasaan (wilayat) khusus dalam lapangan umum.
d.          Kekuasaan (wilayat) khusus dalam lapangan khusus.
Pembagian Mawardi diatas harus dipahami dalam kerangka bahwa khalifah merupakan institusi tertinggi dalam negara, meskipun tidak secara serta merta bisa bertindak otoriter, karena kedaulatan tetap di tangan rakyat didalam bingkai nilai-nilai syariat.
Dalam sistem Islam terdapat suatu lembaga yang mirip dengan parlemen, yang sering disebut sebagai ahlul hall wal ‘aqd. Namun lembaga ini tidaklah sama persis dengan parlemen. Ahlul hall wal ‘aqd hanya bertugas untuk menetapkan atau menurunkan khalifah (termasuk juga mengontrol khalifah), tidak lebih dari itu. Artinya, tatkala khalifah sudah terpilih dan dia sanggup berlaku adil maka ahlul hall wal ‘aqd seolah-olah tidak diperlukan lagi. Ahlul hall wal ‘aqdakan diperlukan lagi ketika khalifah tidak berlaku adil atau ketika khalifah perlu diturunkan. Jadi, institusi tertinggi adalah khalifah, namun pada suatu saat institusi tertinggi bisa diambil alih oleh ahlul hall wal ‘aqd, yang pada dasarnya berarti diambil alih oleh rakyat.
Adapun mengenai kekuasaan yudikatif, agaknya hampir setiap sistem negara (termasuk sistem Islam) menempatkannya dalam posisi independen. Hal ini adalah niscaya karena hukum harus ditempatkan dalam posisi tertinggi, untuk menjamin keadilan bagi semuanya.

2.             Bentuk-Bentuk Negara
Negara memiliki bentuk yang berbeda-beda. Secara umum dalam konsep dan teori modern negara terbagi ke dalam dua bentuk, yaitu Negara Kesatuan (Unitarianisme) dan Negara Serikat(Federasi).
a.        Negara Kesatuan
Negara Kesatuan adalah bentuk suatu negara yang merdeka dan berdaulat, dengan satu pemerintah pusat yang berkuasa dan mengatur seluruh daerah. Namun dalam pelaksanaannya, negara kesatuan ini terbagi ke dalam 2 macam sistem pemerintahan: Sentral dan Otonomi.
b.        Negara Serikat (Federasi)
Negara Serikat atau federasi merupakan bentuk negara gabungan yang terdiri dari beberapa negara bagian dari sebuah Negara Serikat.
Dari sisi pelaksana dan mekanisme pemilihannya, bentuk negara dapat digolongkan ke dalam tiga kelompok :
1)             Monarki adalah model pemerintahan yang dikepalai oleh raja atau ratu. Monarki memiliki dua jenis : Monarki Absolut dan Monarki Konstitusional.
2)             Oligarki adalah pemerintahan yang dijalankan oleh beberapa orang yang berkuasa dari golongan atau kelompok tertentu.
3)             Demokrasi adalah bentuk pemerintahan yang bersandar pada kedaulatan rakyat atau mendasarkan kekuasaannya pada pilihan dan kehendak rakyat melalui mekanisme pemilihan umum (pemilu) yang berlangsung jujur, bebas, aman, dan adil.
3.             Bentuk Negara Islam
Suatu negara disebut sebagai Negara Islam jika memberlakukan hukum Islam. Dengan kata lain, pelaksanaan hukum Islam merupakan prasyarat formal dan utama bagi eksistensinya Negara Islam.
Rasulullah saw bersabda: "Dahulu bani Israil dipimpin dan dipelihara urusannya oleh para nabi. Setiap kali seorang nabi meninggal, digantikan oleh nabi yang lain. Sesungguhnya tidak akan ada nabi sesudahku. (Tetapi) nanti akan ada para Khulafaa dan jumlahnya akan banyak sekali". (HR Bukhari dan Muslim).
Menurut pengertian bahasa Arab, khulafaa berarti pengganti. Berdasarkan penegasan Rasulullah bahwa tidak ada nabi lagi sesudah beliau, maka pengganti di sini berfungsi menggantikan kedudukan beliau sebagai Ketua Negara. Hal ini diperkuat oleh keputusan Abu Bakar yang menyandang gelaran Khalifatur-Rasulillah (pengganti Rasulullah sebagai Ketua Negara). Mahmud Abdul Majid al-Khalidi menjelaskan pengertian Khalifah sebagai berikut: "Khalifah adalah kepemimpinan umum bagi kaum muslimin secara keseluruhan di dunia untuk mendirikan/melaksanakan undang-undang Islam dan mengembangkan dakwah Islam ke seluruh pelusuk dunia".
Islam mengenal bentuk negara Khilafah Islamiyyah, baik secara normatif mahupun praktikal sebagaimana yang tercatat dalam lembaran sejarah sejak masa Nabi sampai runtuhnya Khilafah Islamiyyah yang berpusat di Turki pada tahun 1924. Dengan demikian, tampaknya khilafah yang di maksudkan adalah bentuk kepemimpinan dari suatu pemerintahan islam sebagai suatu kekuatan sosiorelegi  politik umat dalam mencapai dua kepantingan hidupnya, yaitu kehidupan dunia dan akhirat.
Ada empat peran agama yang besar andilnya dalam kehidupan bernegara sepanjang sejarah.
a.              Agama merupakan pedoman dan petunjuk agar senantiasa berada dalam bimbingan moral, hukum, dan etika.
b.             Agama sebagai pemersatu.
c.              Agama sebagai pendorong keberhasilan.
d.             Agama sebagai legitimasi sistem politik.
Adapun yang dapat diambil dari pemikiran – pemikiran Ibnu Khaldun adalah dalam mempraktikkan keempat peran agama dalam bernegara tersebut diperlukan keseimbangan. Kenyataan sejarah membuktikan adanya pasang surutnya politik Islam juga karena keempat faktor tersebut tidak diposisikan pada rel sebenarnya. Termasuk fanatisme doktrin agama yang berakibat pada agama hanya sekadar legitimasi politik belaka.

D.           Sistem Politik Negara Islam
Di setiap negara pasti mempunyai sistem politik di dalamnya. Berbicara tentang sistem politik di Negara Islam, Sistem Politik Islam merupakan sistem politik yang khas dan diyakini merupakan sistem politik yang unggul. Hal ini terkait dengan Islam itu sendiri. “Islam itu unggul dan tidak ada yang dapat mengunggulinya (Al Islâmu ya’lu wa lâ yu’la ‘alaihi),” kata Nabi.
Berbicara tentang sistem politik berarti berbicara tentang proses, struktur, dan fungsi. Proses adalah pola-pola yang mengatur hubungan antar manusia satu sama lain. Struktur mencakup lembaga-lembaga formal dan informal seperti majelis umat, partai politik, khalifah, dan jaringan komunikasi. Adapun fungsi dalam sistem politik menyangkut pembuatan berbagai keputusan kebijakan yang mengikat alokasi nilai. Keputusan kebijakan ini diarahkan pada tercapainya kepentingan masyarakat. Proses, struktur, dan fungsi dalam sistem politik Islam semuanya berdasarkan pada ajaran Islam yang bersumber dari wahyu. Karena itu, sistem politik Islam, termasuk konsep kenegaraannya, menjadi sistem yang unggul karena bersumber dari Allah Swt., Zat Yang Mahaagung. Di antara keunggulan sistem politik Islam adalah:
a.         Istiqamah
Sistem politik Islam memiliki karakter istiqamah; artinya bersifat langgeng, kontinu, dan lestari di jalannya yang lurus. Dalam sistem demokrasi, misalnya, sistem politik bergantung pada kehendak manusia. Perubahan nilai dan inkonsistensi pun terjadi. Hal yang sama bisa berlaku untuk orang lain, tetapi tidak untuk negara tertentu.
Berbeda dengan itu, sistem politik Islam berdiri tegar tak lekang ditelan zaman. Ini karena sistem politik Islam bukan lahir dari logika dan kepentingan sesaat manusia, namun jalan lurus yang berasal dari Allah Swt. untuk kemaslahatan manusia. Dalam konteks kenegaraan, sistem politik Islam dibangun di atas landasan yang istiqamah, yakni:
1.        Kedaulatan ada di tangan syariah;
2.        Kekuasaan ada di tangan rakyat;
3.        Wajib hanya memiliki satu kepemimpinan dunia; dan
4.        Hanya khalifah yang berhak melegalisasi perundang-undangan dengan bersumber dari Islam berdasarkan ijtihad.

b.          Mewujudkan ketenteraman secara kontinu.
Di antara fungsi sistem politik adalah mewujudkan ketenteraman. Setiap warga negara harus terjamin ketenteramannya. Tanpa ketenteraman, kehidupan tak akan nyaman. Ketenteraman merupakan syarat mutlak(conditio sine qua non) bagi keberlangsungan kehidupan masyarakat.Islam sangat memperhatikan hal ini. Salah satu ajaran penting Islam adalah mewujudkan keamanan di tengah-tengah masyarakat. Sejarah menunjukkan bagaimana saat Islam diterapkan, warga negaranya, baik Muslim maupun non-Muslim, hidup dalam keamanan. Hal ini terwujud melalui pendekatan multidimensi.

c.          Menciptakan hubungan ideologis penguasa dengan rakyat.
Hubungan penguasa dengan rakyat dalam sistem politik Islam adalah hubungan ideologis. Kedua belah pihak saling berakad dalam baiat untuk menerapkan syariat Islam. Penguasa bertanggung jawab dalam penegakkannya. Sebaliknya, rakyat membantu penguasa sekuat tenaga, taat kepadanya, selama tidak menyimpang dari Islam. Berdasarkan hubungan ideologis inilah penguasa akan melakukan pengurusan (ri’ayah) terhadap umatnya melalui:
(a) Penerapan sistem Islam secara baik;
(b) Selalu memperhatikan kemajuan masyarakat di segala bidang; dan
(c) Melindungi rakyat dari ancaman.
Nabi saw. bersabda (yang artinya): Sesungguhnya seorang imam (pemimpin) itu merupakan pelindung. Dia bersama pengikutnya memerangi orang kafir dan orang zalim serta memberi perlindungan kepada orang-orang Islam (HR al-Bukhari).
Pada sisi lain, rakyat tidaklah tinggal diam. Di pundak mereka terdapat kewajiban terhadap pemimpin dan negaranya sesuai dengan akad baiat. Karenanya, rakyat berperan untuk:
1.             Melaksanakan kebijakan penguasa yang sesuai dengan syariat demi kepentingan rakyat;
2.             menjaga kelangsungan pemerintahan dan semua urusan secara syar’i;  
3.             memberikan masukan kepada penguasa; mengontrol dan mengoreksi penguasa.
Dengan adanya hak sekaligus kewajiban warga negara untuk memberikan nasihat, pelurusan (tashih), dan koreksi terhadap penguasa (muhasabah al-hukkam) akan terjamin penerapan sistem Islam secara baik di dalam negeri.

d.            Mendorong kemajuan terus-menerus dalam pemikiran, sains teknologi, dan kesejahteraan hidup.
Sejarah telah membuktikan hal ini. Kemajuan sains, teknologi, dan pemikiran merupakan keniscayaan dalam Islam karena:
1.        Islam mendorong umat untuk terus berpikir, merenung untuk menguatkan iman dan menambah pengetahuan tentang makhluk. Ada 43 ayat al-Quran yang memerintahkan berpikir.
2.        Melebihkan ulama daripada orang jahil.
3.        Allah telah menundukkan alam untuk manusia agar diambil manfaatnya. Realitas ini mengharuskan umat untuk mengkaji alam itu. Artinya, realitas menuntut umat untuk mengembangkan sains dan teknologi.
4.        Islam mendorong inovasi dan penemuan. Dalam masalah jihad, misalnya, Rasulullah saw. mengembangkan persenjataan dabâbah saat itu. Kini, berarti umat harus mengungguli sains dan teknologi negara besar. Begitu juga ijtihad; harus terus dikembangkan. Betapa tidak, banyak sekali perkara baru bermunculan, padahal dulu belum dibahas oleh para ulama.

E.            Tujuan Negara Islam
Untuk memberi gambaran lebih rinci, aktifitas memelihara agama (hifdhu d-din) yang menjadi tugas dan tujuan Negara Islam meliputi pekerjaan-pekerjaan berikut:
a.         Menyebarkan dan mendakwahkan Islam dengan pena, lidah dan pedang.
Dakwah merupakan pekerjaan pertama yang dilakukan para nabi sebelum pekerjaan yang lain. Hal ini disebabkan dakwah mengambil sasaran perbaikan tashawwur (pemahaman) terhadap syariat Allah dari berbagai noda jahiliyah. Utamanya pemurnian tauhid dari buih syirik. Lalu memberi bimbingan bagi masyarakat dalam melaksanakan agamanya secara praktek (amal). Dengan demikian, dakwah mencakup perbaikan ilmu dan amal.
Hukum melakukan dakwah adalah fardhu kifayah. Yaitu suatu kewajiban yang menjadi beban semua umat Islam yang tergolong mukallaf (terkena beban hukum), tapi jika sudah ada salah satu pihak yang melaksanakannya sesuai tuntunan syari’at dan tuntutan realitas, maka kewajiban itu gugur bagi yang lain. Kepentingan dari suatu perintah yang disebut fardhu kifayah adalah wujud pelaksanaannya, bukan siapa yang melaksanakan. Siapanya tidak penting, yang penting terlaksana dengan standar syariat dan tuntutan realitas.
Allah berfirman:                       
ولتكن منكم أمة يدعون إلى الخير ويأمرون بالمعروف وينهون عن المنكر وأولئك هم المفلحون
Artinya: Dan hendaklah ada satu golongan dari kamu yang melakukan dakwah kepada kebaikan (kebenaran), memerintahkan kepada yang makruf dan melarang dari yang munkar. Dan mereka itulah orang yang beruntung.(QS. 3/Ali Imran: 104)
Ketika penjelasan secara lisan tentang Islam tidak membuahkan hasil, maka seorang muslim tidak menjadi bebas dari tugas menyebarkan Islam, apalagi ia seorang amirul mukminin. Tapi ia harus beralih menggunakan alat dakwah lain yaitu pedang.
Adalah naif jika Islam disebut sebagai agama sempurna tapi tak punya cara untuk menyelesaikan masalah orang yang menolak dakwah secara lisan. Oleh sebab itu, ketika mengepung dan mengancam musuh, Rasulullah saw memberi tiga pilihan; masuk Islam, membayar jizyah (pajak) ketundukan, atau diperangi. Jika musuh memilih masuk Islam, maka urusan langsung selesai dan mereka menjadi satu umat yang sama. Jika memilih pajak ketundukan, maka Islam memberi jaminan keamanan sebagai imbalan pajak yang mereka bayarkan, disamping ijin untuk tetap melaksanakan agamanya. Jika menolak dua pilihan tersebut, Rasulullah saw memerangi mereka dengan pedang sampai bertekuk-lutut dan putus asa.

b.             Membasmi syubhat (pemikiran rusak), bid’ah dan segala bentuk kebatilan
Negara Islam harus mengambil fungsi membasmi syubuhat pemikiran, bid’ah dan segala wacana dan praktek kebatilan lain. Sebab seorang amirul mukminin memiliki kewenangan luas untuk melakukan nahi munkar di tengah masyarakat. Amirul mukminin paling bertanggung-jawab terhadap masalah ini karena ia didukung setidaknya oleh dua barisan; ulama dan prajurit. Tidak ada orang lain yang memiliki kekuatan sebesar itu.
Syubuhat pemikiran menjadi tugas ulama untuk mengoreksinya hingga tuntas agar masyarakat tidak terkotori pikirannya dengan paham-paham sesat. Hal ini disebabkan kemunkaran yang bersumber dari akal pikiran hanya bisa dibongkar oleh ulama. Demikian juga dengan bid’ah dan takhayul. Yang dibutuhkan dari penguasa (negara Islam) adalah dukungan kekuaatannya, agar ulama bisa melaksanakan perannya tersebut dengan maksimal.
Amirul mukminin bertanggung-jawab memelihara Islam agar tetap dalam landasan yang disepakati para pendahulu (salaf sholih). Jika ada pemikiran rusak mencoba membelokkan, ia membantahnya dengan argumen yang kokoh dan menjelaskan dengan versi yang benar. Dilanjutkan dengan memberi sanksi sesuai aturan yang berlaku, agar Islam terpelihara dari rongrongan pemikiran menyimpang dan umat Islam tejaga dari kesesatan.

c.              Menjaga keutuhan umat dan mengawal perbatasan dari serangan musuh.
Kepala negara (Islam) bertanggung jawab mewujudkan rasa aman bagi masyarakat agar bisa bebas melaksanakan semua aktifitas ibadah dan memakmurkan dunia. Rasa aman bisa diraih jika gangguan internal dan eksternal negara bisa diatasi. Oleh sebab itu, negara harus memiliki kekuatan yang tangguh. Dan merupakan pengaturan Ilahi yang Maha Sempurna, Islam memberi solusi terhadap kebutuhan ini dengan syari’at yang bernama ribath dan jihad fi sabilillah. Suatu kombinasi sempurna; mendapatkan imbalan secara akhirat berupa syurga, sekaligus menjadi alat yang logis untuk menjaga negara Islam dari rongrongan musuh.
Ribath bersifat pasif, seperti pekerjaan satpam yang hanya menjaga. Meski demikian, Rasulullah saw memberi motivasi dan penghargaan yang tinggi terhadap aktifitas ini, dalam sabdanya:
رباط يوم فى سبيل الله خير من الدنيا وما عليها
Artinya: Ribath fi sabilillah satu hari adalah lebih baik dari dunia seisinya.
Jihad fi sabilillah artinya berperang melawan musuh Allah dan musuh umat Islam. Jihad bisa bermakna ofensif bisa pula defensif, tergantung kebutuhan. Rasulullah saw pernah melakukannya, baik bermakna defensif maupun ofensif.
Jika kepala negara (Islam) dengan kekuasaan di tangannya tidak melaksanakan ribath dan jihad, ia gagal menjalankan fungsinya. Dalam waktu yang tidak lama musuh-musuh Islam akan berebut “menyantap hidangan” umat Islam karena tidak ada penjaganya, seperti yang kita alami saat ini. Tapi karena kita tidak memiliki kepala negara (Islam) yang syar’i yang berfungsi melaksanakan peran ini, maka beban kesalahan ditanggung oleh semua umat Islam.







BAB IV
PENUTUP

A.           KESIMPULAN
Dari pembahasan konsep dasar negara yang islami dalam makalah ini dapat disimpulkan sebagai berikut:Dalam konsepsi Islam, menurut kebanyakan ahli politik Islam modern, tidak ditemukan rumusan yang pasti (qathi’)tentang konsep negara. Dua sumber Islam, Al-Qur’an dan Al-Sunnah, tidak secara tersurat mendefinisikan model negara dalam Islam. Meskipun demikian, Islam mengajarkan banyak nilai dan etika bagaimana seharusnya negara itu dibangun dan dibesarkan.
Hubungan agama dan negara di Indonesia lebih menganut pada asas keseimbangan yang dinamis, jalan tengah antara sekularisme dan teokrasi. Keseimbangan dinamis adalah tidak ada pemisahan agama dan politik, namun masing-masing dapat saling mengisi dengan segala peranannya. Agama tetap memiliki daya kritis terhadap negara dan negara punya kewajiban-kewajiban terhadap agama. Dengan kata lain, pola hubungan agama dan negara di Indonesia menganut apa yang sering disebut oleh banyak kalangan sebagai hubungan mutualisme-simbiotik.
Negara Islam, melihat dari beberapa wacana yang telah berkembang, dapat disebut telah, sedang dan akan terus ada, tergantung pada sejauh mana menilai sebuah negara itu disebut Negara Islam, karena pada dasarnya setiap negara yang didiami oleh umat Islam adalah negara yang memiliki dimensi moral Islam, sesekuler apapun negara tersebut dan (lebih radikal lagi) sesekuler apapun rakyatnya. Karena Islam atau tidaknya seseorang pun hanya sesederhana dua kalimat syahadat yang diyakini. Begitu juga dengan negara Islam yang ideal pada dasarnya dikembalikan pada umat Islam itu sendiri dalam mengembangkan kreatifitas peradaban mereka, namun tetap dalam koridor keislaman.




B.            SARAN
Demikian makalah yang kami sampaikan tentang konsep dan bentuk negara yang ideal dalam mewujudkan negara islami. Kami menyarankan kepada pembaca untuk selalu menerapkan pemerintahan yang berkonsep dasar Islami. Dan semoga makalah ini bermanfa’at bagi pembaca.

























DAFTAR PUSTAKA

Azra, Azyumardi. 2000. Demokrasi, Hak Asasi Manusia dan Masyarakat Madani. Jakarta: Prenada Media.
Komarudin Hidayat & Azyumardi Azra. 2006. Demokrasi , Hak Asasi Manusia dan Masyarakat Madani. Jakarta:ICCE UIN Syarif Hidayatullah.
Harun Nasution. 1985. Islam Ditinjau dari Berbagai Aspeknya. Jakarta: UI Press.
Raliby, Osman. 1962. Ibnu Khaldun tentang  Masyarakat Negara. Jakarta: Bulan Bintang.
Syafiie, Inu Kencana & Andi Azikin. 2007. Perbandingan Pemerintahan. Bandung: Refika Aditama.
Syafiuddin. 2007. Negara Islam  menurut Konsep Ibnu Khaldun. Yogyakarta: Gama Media.

















0 komentar:

Posting Komentar